Tom and Jerry

0

Pagi itu temen gue datang ke sekolah dengan mata sembab. Kelas 5 atau 6 SD. Setelah gue tanya kenapa, ternyata orangtuanya habis berantem. Bagi dia, itu adalah kejadian besar yang mengejutkan. Dia takut dan cemas.

Berbanding terbalik dengan gue yang kayak udah kebal dengan kejadian-kejadian seperti itu di rumah. Tinggal masuk kamar tutup telinga di bawah selimut, atau pergi main ke rumah teman. Hingga suatu hari, gue pergi jauh. Naik pesawat untuk sampai ke kosan Amoy di Jakarta.

Orangtua gue udah kayak Tom and Jerry. Bisa berantem hanya karena hal-hal sepele. Entah karena yang satu marahin anak dan satunya lagi belain, kecapean kerja, gak ada duit, utang yang harus dibayar, atau karena omongan tetangga. Gue udah khatam dengan itu semua.

Dan gue (kami anak-ananknya) menyayangi dan mencintai mereka. Bagi kami, mereka adalah orangtua terhebat. Meski tidak berpendidikan tinggi, tapi ingin anak-anaknya menjadi orang berpendidikan. And they have made it happen. Setidaknya, anak-anaknya kuliah dan sarjana. Mereka seolah belajar dari kelalaian dan kegagalan di waktu muda.

You cannot imagine how difficult and bitter our lives were. But they stay together. They love us. They love each other.

They weren’t dating back then. Kenal tiga bulan langsung menikah. Hanya beberapa kali pertemuan. Tiga puluh tahun silam, belum ada gadget. Dengan jarak rumah yang mungkin sekitar 60km, sulit untuk bertemu. Begitulah jodoh.

Orangtua gue terbilang keras kepadaa anak-anaknya. Terlebih untuk urusan sekolah. Mereka bahkan tidak pernah sekalipun mengijinkan kami menginap di rumah teman. Dan kalimat maut yang selalu dikatakan saat kami masuk SMP . “Mau sekolah atau pacaran? Pilih salah satu. Kalau pacaran berhenti sekolah, langsung dinikahin.” Itulah ancaman mereka hingga kami tamat SMA.

Meski hidup pas-pasan (kurang bahkan), orangtua kami selalu memotivasi agar kami sekolah di tempat yang bagus, tak peduli jauh dari rumah dan biaya lebih besar. Yang penting, anak-anaknya sekolah di tempat yang terbaik. Selagi anaknya lolos masuk ke sekolah tersebut, ia juga akan mengusahakan biayanya.

Orangtua gue bukan tipe yang romantis. Bagaimana mau romantis ketika harus berjuang hidup dan menyekolahkan empat orang anak. Dulu, tidak pernah ada perayaan ataupun ucapan selamat ulangtahun bagi kami. Sulit sekali untuk mengungkapkan rasa sayang, berterima kasih ataupun meminta maaf.

Tapi pun tanpa diungkapkan, kami tau mereka menyayangi kami tanpa batas. Pernah, di suatu hari raya, di saat empat anaknya memakai baju dan sandal baru, Bapak cuma pakai sandal jepit dan baju lama. Tapi ia begitu bahagia melihat kami. Tertawa saat kami berulang kali mencoba baju sebelum raya tiba.

Orangtua gue juga tidak pelit. Bahkan terkesan boros pada anak-anaknya. Meski dengan uang pinjaman, mereka selalu memenuhi keinginan kami untuk jajan. Beli rambutan 2kg bagi empat. Duku juga bagi empat, diplastik-in atau dibagi ke empat piring. Mereka gak kebagian? Tergantung kebaikan anak-anaknya. Siapa yang mau kasih mama papa. Biasanya masing-masing kami memberi 2 buah dari jatah kami. Dan nanti, papa diam-diam akan memberikan bagiannya kepada siapa yang “rakus” di buah tersebut. Gue kebagian rambutan hahaha.

We are so happy together. Sering makan nasi bungkus, sering dibeliin buah, makan durian, and so on.

Kini, kehidupan menjadi lebih baik. Anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Mereka pun semakin dewasa pikiran maupun emosi, dan menua secara usia. Kami mulai terbiasa menanyakan kabar, berterima kasih dan memohon maaf, hingga mengucapkan ulangtahun dan mendoakan.

Mereka tidak lagi harus memaksakan diri bekerja keras; bangun jam dua malam dan berangkat subuh ke pasar. Tidak pernah lagi gue dengar aduan-aduan, ataupun perkelahian yang serius.

Semoga mereka bisa hidup bahagia dan menua bersama. Semoga perjuangan dan pengorbanan mereka dibalas dengan kebahagiaan dan ketentraman di masa tua oleh Yang Maha Kuasa.

Terima kasih Ma, Pa.

You might also like

Leave A Reply

Your email address will not be published.