
Runtuh
Aku masih ingat bagaimana bumi serasa berhenti sejenak,
saat aku melihat foto itu.
Kamu dengan kemeja batikmu, dan dia yang mirip ibukmu,
memamerkan cincin di jari manis, di hari Sabtu.
Dan aku, membatu.
Aku memejamkan mata, menahan napas salama yang ku bisa,
dan aku tidak memikirkan apa-apa.
Aku hanya mencoba meyakinkan diri, bahwa kamu benar-benar sudah ‘pergi’.
It feels like “Oh finally, but I need to process this internally”
Aku bahkan tidak bisa mengucap kalimat ‘semoga bahagia’,
pun mendoakan kamu dan dia.
Kalau boleh jujur, aku sedikit kecewa,
karena ternyata aku tidak se-runtuh itu.
Ternyata bumiku terus berputar, senin kembali datang,
dan hidup terus berlanjut.
Sedang kamu sudah menjadi Imam seseorang.